Jumat, 28 Februari 2014

#PrayForAle



Ale. Ale itu merupakan nama netbook gue. Berdasarkan sumber yang gue baca, Ale berasal dari istilah French “Cereale” yang artinya adalah buah. Gue memberi nama tersebut karena unik dan gue punya filosofi berdasarkan sudut pandang gue sendiri. Gue memilih buah, karena rasa-rasa buah itu bermacam-macam, ada buah yang manis, asem, dll. Itu gue anggap, sama kayak netbook gue yang bisa menimbulkan bermacam-macam rasa di diri gue. Entah kesel, seneng, dll. Kesel kalo loading-nya lagi lemot. Seneng kalo lagi nonton film dan game yang ada di dalam netbook gue itu. Selain itu, kenapa gue mengambil istilah buah dari bahasa French, itu karena gue suka sama Negara eifel itu. Sama kayak gue yang suka dengan netbook gue ini. Oleh karena itu, gue mengibaratkan netbook gue ini cereale, yang biasa gue panggil dengan sebutan “Ale.”

Pray, pray, and pray.
Pray menjadi hal yang makin rutin gue lakukan, semenjak Ale mengalami malapetaka, yaitu terkena syndrome sel netbook (Baca: Engsel rusak). Malapetaka itu terjadi 2 minggu yang lalu. Waktu itu, gue lagi online di Ale, buat balesin ask.fm, mention, DM, coment, dll yang menyangkut akun social media gue. Gue emang jarang banget online di Ale. Itu karena posisinya harus selalu duduk yang nggak bisa tiduran. Dan itu PEGEL -_- Makanya, gue lebih suka online di ipad atau di HP, karena posisinya bisa sambil tiduran. Kalaupun gue harus online di Ale, itu Cuma saat-saat tertentu dan penting aja. Ale lebih sering gue pake buat nemenin gue menulis dan ngerjain project. Saat malapetaka itu hampir terjadi, Ale masih dalam keadaan sehat walafiat dan nggak menunjukkan tanda-tanda kalo dia bakal terkena syndrome. Setelah, respon-respon di akun social media gue bales, gue memutuskan untuk mengistirahatkan si Ale yang udah panas. Tapi, di saat gue mulai menutup layarnya Ale, tiba-tiba terdengar suara “PELETEEEEEK.”

Gue cengo.
Gue shock.

Dan seketika itu pula, malapetaka terjadi terhadap si Ale. Gue yang udah setengah nggak sadar karena ngantuk, langsung sadar ketika suara “PELETEEEEEK” itu berkumandang. Semua perasaan langsung berkecamuk di dalam benak gue. Kesel, sedih, bingung, kocak, semua melebur jadi satu. Gue kesel karena lagi-lagi ada aja yang harus gue alami. Gue sedih, karena kasian liat kondisi Ale yang layar bawahnya mangap seperti ikan lohan. Gue bingung, harus ngapain ngeliat keadaan Ale yang mengenaskan itu. Gue juga kocak, karena di saat kondisi genting seperti itu, masih ada aja hal kocak yang terselip wkkwk -.-

Mungkin, kalo si Ale bisa berbicara, dia bakal mengelus pundak gue sambil bilang, “Tenang Bos, nggak usah sedih. Aku kuat kok :’)”
Dramatis.

Otak gue jadi trapesium gara-gara kondisi Ale yang memprihatinkan itu, pola pikir gue jadi nggak sinkron. Tapi karena rasa ngantuk gue jauh lebih kuat dibanding otak gue yang mau berpikir gimana caranya menyelamatkan Ale dari jeratan syndrome sel netbook ini, gue memutuskan untuk tidur.

Lagi-lagi saat bangun tidur, otak gue dipaksa harus berpikir gimana caranya membebaskan Ale dari syndrome itu. “Hmmm, gimana ya?” “Gimana ya, hmmm” “Ya, hmmm gimana?” Itu-itu aja terus yang ada di benak gue saat itu. Maklum, waktu itu gue baru bangun tidur, makanya nyawa gue belum terkumpul secara utuh yang mengakibatkan otak dan pola pikir gue jadi ludicrous. Sampai akhirnya, terdengar suara merdu (Baca: Adzan) dari musholla belakang rumah gue. Berhubung gue itu adalah anak yang beriman, gue nggak melupakan kewajiban gue sebagai muslimah. Gue langsung bangun dari terkaman kasur menuju kamar mandi buat wudhu. Oke, gue sholat.

Selesai sholat, otak gue udah mulai terbentuk dan nggak trapesium lagi. Pola pikir gue juga mulai masuk akal dan nggak kacau lagi. Tapi, di saat itu pula gue makin bergumam. “Duh, duit gue tinggal dikit, gimana mau service?” “ATM gue hampir limit, gimana mau service?” “Gue kalo minjem duit ke abang gue, pasti diketawain. Jadi gimana mau service?” “Kalo minta tambahin sama Bokap, pasti kuping gue denger nyanyian (Di omelin) beberapa jam nonstop, terus gimana mau service?”

Nggak lain dan nggak bukan, kata-kata “Gimana mau service?” selalu menyelinap dalam benak gue. Karena gue udah lelah dengan benak gue yang kacau, gue berkonsultasi dengan teman gue. At least, dia bisa jadi penunjuk arah hidup gue dalam menyelamatkan Ale dari syndrome sel netbook. Dan akhirnya, dia menyarankan gue ke service center resmi maupun non resmi. Gue langsung menunaikan saran itu ke esokan harinya. Sebelum menunaikan saran itu, gue memberanikan diri untuk minjem duit ke abang gue yang lagi telfonan sama pacarnya di kamar.

“Bang, gue minjem duit dong. Nanti gue ganti kok, pas awal bulan.”
“Buat apaan?”
“Si Ale terkena syndrome. Gue mau ngajak dia berobat.”
Entah kenapa, kalimat yang gue gunakan barusan membuat gue jadi absurd -_-

“Hah? Ale? Siapa itu? Pacar, lo? GUE BILANGIN ABA LO, YA!” Not bicara abang gue mandadak tinggi seperti Miley cyrus.
“Apaan sih, lo. Ale itu netbook gue! Nih, tuh liat! Engselnya udah kepotek. Suka negative thinking mulu sih, lo. Apa-apa  bilangin aba mulu. Comel banget mulutnya kayak ibu-ibu gossip!” Gue nyerocos.
“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA.” Ketawa dia yang menggelegar


Melihat perlakuan abang gue yang biadab itu, gue makin beristighfar dan tarik napas. Kan gawat, kalo emosi gue terpancing. Bisa-bisa, gue nggak dipinjemin duit, bahkan abang gue bisa membahayakan gue dengan memfitnah yang macam-macam ke Bokap.

Dengan sifat kesabaran yang gue miliki, akhirnya gue dipinjemin duit oleh abang gue dengan rintangan yang mengharuskan gue jadi bahan tertawaan dia.

Selain itu, gue memberanikan diri juga buat minta tambahan duit ke Bokap. Emang sih, gue terkesan kaku. Masa sama orang tua sendiri aja, masih takut buat minta. Tapi, ya inilah gue. Gue sungkan minta apa-apa. Selagi gue bisa beli dengan duit gue sendiri, gue nggak bakal minta. Kalaupun minta, pasti mintanya nggak utuh dan ragu-ragu, kayak sekarang ini. Gue Cuma minta nambahin duit gue yang kurang, buat service si Ale. Dan untungnya, gue kena omelan Cuma beberapa menit.

Dengan duit pinjaman abang gue dan duit tambahan dari Bokap, gue langsung bergegas ke service center di salah satu mall daerah bekasi bareng temen gue.

Sebelum ke service center resmi, kita berpetualang mencari tau harga service di beberapa service center non resmi. Harga yang ditawarkan pun bermacam-macam, ada yang 300rb, 450rb, dan 150rb. Temen gue langsung memberi pencerahan terhadap gue akan harga-harga yang ditawarkan dari beberapa service center non resmi itu.

“Rul, yang tadi itu kok murah banget, ya?” Bisik temen gue.
“Iya, ya?”
“Masa dia 150rb, di sini 450rb. Jangan-jangan nanti pas service, netbook lo di otak-atik dan diganti dalemnya rul. Gue rasa kita mending langsung yang pasti dan aman aja, deh. Kita ke service center resmi aja.”
“(Ngangguk-nganggukin kepala)”


Gue dan temen gue pun langsung menuju service center resmi. Dan ternyata, stok barang buat gantiin engsel Ale yang rusak itu udah abis dan nggak di produksi lagi. Saat itu, gue mau nangis, mau teriak, pokokya sedih bingitssss. Tapi, gue harus tetep terlihat tenang. Saat itu juga gue menyebut, “ALL IZ WELL” berkali-kali. Gue mulai putus asa dan hilang arah buat bikin si Ale sehat walafiat lagi. Tapi temen gue berusaha menghibur gue dan mengajak gue ke service center yang lain. Gue pun mengiyakan.

“Om, netbook temen saya engselnya rusak nih. Nah, kalo di service berapa deh, om?” Kata temen gue.
Om-om service center-nya langsung menggerayangi si Ale.

“Oh, kalo ini mah harus diganti casing juga. Kalo harga, biasanya 1jt dek.”
“HAH? Tapi ini sehat walafiat kok om sebenernya. Di idupin masih normal tampilannya, ini Cuma engselnya yang bikin susah buka dan nutup layarnya om. Om jangan bercanda dong, om. Om serius dikit dong.” Gue nyerocos.
“Iya, ini serius. Nggak bercanda.”
“Yaaaaahhhhhh om.” Suara gue mulai melemas dan nggak bertenaga.
“Kalo gitu dek, mending beli yang baru.”
“Yaudah deh, liat takdir nanti. Kasih tips aja deh, dong om gimana nutup dan buka layar ini dengan aman.”
Om-om service langsung nunjukkin cara membuka dan menutup layar netbook yang engselnya rusak. Dan gue langsung mempratekkannya.

“Yaudah om, makasih banyak ya om atas tipsnya. Makasih, makasih, makasih. Doain ya om, supaya netbook saya cepet sembuh.”
Gara-gara Ale rusak, gue jadi terlihat bego -_-

“Iya dek, sama-sama. Hati-hati aja makenya.”

Keluar dari service center itu, gue sebagai pemilik syah Ale, Cuma bisa mellow dan ikut prihatin karena syndrome yang sedang menimpanya sekarang. Bahkan, hati gue bagai ketusuk ribuan peniti tiap liat keadaan Ale yang mengenaskan dan denger biaya service-nya. Mau nangis, sih sebenernya. Tapi, gue harus tetep stay cool.

Gue bingung, harus gimana. Kalo biaya service-nya sejuta, mending gue beli baru, terus si Ale gue alih fungsikan jadi PC dengan nggak nutup-nutup layarnya lagi. Tapi di sisi lain, Ale itu kan udah kayak sohib gue. Gue sama dia udah bareng-bareng sejak gue kelas 2 SMA. Susah seneng, gue bareng dia. Dia yang ngehibur gue kalo lagi bete dengan film-film yang ada di dia. Dia juga yang bikin tugas-tugas sekolah gue terasa mudah. Dia juga loh, yang bikin gue nambah wawasan. Dan yang paling penting, dia itu jadi saksi bisu dalam perjalanan karir sastra gue, terutama menulis. Nggak ada dia, gue nggak akan bisa kayak sekarang. Mana semua project dan naskah gue ada dia semua, gue susah move on dari si Ale. Pokoknya, Ale selalu setia nemenin gue dalam kondisi suka maupun duka. Nggak ada Ale, mungkin nggak bakal ada juga project dan naskah gue kayak sekarang. Bingung, harus gimana.

Oke, fix. Dengan berat hati, gue memutuskan untuk nggak menservice Ale dalam jangka waktu tertentu dan mengalih fungsikan dia sebagai PC yang layarnya nggak akan gue tutup-tutup. Maybe someday, kalo ada rejeki, gue bakal menservice dia dan menyimpannya baik-baik sebagai saksi bisu perjuangan gue dari nol. #PrayForAle


Mungkin, bisa jadi rusaknya Ale ini adalah salah satu rintangan yang harus gue lewati lagi buat wujutin angan-angan sebagai penulis, karena kegiatan menulis gue jadi rada terhambat. Nggak munafik, dengan kondisi Ale yang terkena syndrome sel netbook, secara nggak langsung membuat konsistensi menulis gue mengalami pasang surut. Tapi yang jelas, gue nggak akan berhenti buat nulis. Kalaupun nantinya emang skenario Allah membuat gue jauh dari angan-angan itu, gue pasti terima. Karena serapih-rapihnya gue ngatur skenario hidup gue, skenario Allah jauh lebih rapih. Tapi, selama gue enjoy dan nggak ngusik hidup orang, gue akan terus menulis apa yang ingin gue tulis. Nongol di rak toko buku atau enggak, itu biar skenario Allah yang ngatur. Gue Cuma bisa ikhtiar dan berdoa. Gue percaya, yang namanya ikhtiar nggak ada yang sia-sia, meskipun nantinya gagal. Karena sampai detik ini, gue masih belum lelah untuk menggenggam impian dan percaya pada harapan.
I have a dream and I believe it.