Senin, 04 Juli 2022

Ratukan Dirimu Meski Yang Sempat Singgah Ialah Fir'aun

Ketika remaja dulu, yang diidamkan ialah lelaki yang tampan, keren, hits, dan rupawan. Namun, beriringnya bertambah usia, banyaknya ujian hidup, dan melihat dinamika kehidupan yang tak kunjung sampai ujung, kita akan tersadar, sejatinya bahwa lelaki terbaik yang patut diidamkan menjadi pendamping diri ialah yang bisa menenangkan hati. Rupawan akan luntur dan tak ternilai ketika kita bersama dia yang selalu menenangkan hati  tanpa kata 'tapi' dan 'kok bisa.' Dia yang memahami dan pengertian serta bertanggungjawab tanpa pamrih selalu ada ruang untuk menyejukkan hati yang dipenuhi gemuruh amarah karena problematika kehidupan.

Tapi ironi nya, kita akan tersadar moment itu ketika sudah menyesal di akhir cerita maupun sedang berada di tengah cerita kebersamaan. Terpana dengan dia yang memperlakukan kita seperti ratu saat awal hubungan ataupun terpukau dengan dia yang terlihat begitu special. Nyatanya, memang hidup selalu harus jatuh terlebih dahulu untuk tau karakter seseorang sesungguhnya. Dari waktu dan pengalaman, kita belajar bahwa kita bisa mengenal karakter seseorang sesungguhnya ketika dia marah dan dalam masalah maupun kondisi pelik. Kedewasaan, sikap, dan ketulusan seseorang terlihat jernih ketika dia dibenturkan berbagai masalah dan kesulitan serta amarah. 

Tapi apa daya, ya memang beginilah hidup, tidak ada yang akan berjalan mulus. Semua penuh ujian, tantangan, dan hikmah di balik setiap realita yang kita alami. Begitu pun dengan realita kita sebagai wanita sempat menyesal membersamai dia karena karakter aslinya tidak sejernih kita duga seperti ekspektasi alam bawah sadar kita. Hal ini yang menjadikan alasan besar untuk wanita, LOGIKA harus lebih tinggi dibanding hati agar bisa melihat semuanya secara jernih dan tidak merasakan kesakitan karena jauh dari ketenangan hati yang disebabkan dia selalu membuat situasi menegangkan.

Teruntuk yang sedang berada di tengah cerita ataupun yang sudah mengakhiri cerita ketegangan bersama dia yang diharap menenangkan, tetap sehat tetap semangat. Sebagai wanita yang dilahirkan dan dirawat penuh kasih sayang oleh orangtua kita, pantang untuk menangisi dia yang selalu membuat pikiran bergemuruh. Istimewakan dirimu, ratukan dirimu, meski raja yang sempat singgah ialah Fir'aun.

Rabu, 28 Juni 2017

Anak Tak Beribu, Tak Berbapak

Apalagi yang diharapkan dari anak tak beribu dan tak berbapak?
Duduk di sudut kamar tertegu dengan banyak bening yang bergulir di pelupuk mata. Tak ada kosakata terdengar  karena saking kuatnya getaran di dada yang begitu sesak. Memori demi memori datang silih berganti di kepala akan sosok penopang hidup seorang anak. Harapan akan adanya penopang hidup lagi terus berkecamuk di hati. Tapi apa daya, Ekspektasi tidak selaras dengan implementasi. Si anak tetap duduk sendiri di sudut kamar hingga bibirnya bergetar bagai diterjang tsunami kesendirian. Meradang dalam hati. Berteriak dalam kesepian. Mengaung dalam kehampaan. Memelas dalam kesedihan. Tanda tanya pun selalu ada di benak sang anak, "Kenapa ayah dan ibu tidak bersamaku untuk waktu yang lama?"

Lalu, jika sudah begini, apalagi yang diharapkan dari anak tak beribu dan tak berbapak? Melakukan ini-itu tanpa petunjuk. Ingin ini-itu harus berusaha sendiri tanpa dibantu. Tak seperti anak lainnya, si anak itu harus bisa berdiri lebih tegak lagi sendirian untuk hal ini-itu. Dengan begitu, apalagi yang diharapkan dari anak tak beribu dan tak berbapak? Tapi si anak tetap semangat untuk menata kehidupan yang lebih baik, karena kata sang penopang hidup, "Tetaplah bersinar menyinari yang lainnya meski sendirian." Demikian, isi cerita anak tak beribu dan tak berbapak yang bukan sekedar mengharapkan....



Dari aku, si anak yang tak beribu dan tak berbapak. 

Minggu, 01 Juni 2014

Untuk kamu


Ketika harus bertahan di tengah situasi yang tidak  pernah kamu bayangkan, kamu hanya bisa berdiam diri dan tertunduk nestapa mengaharapkan bahwa situasi ini hanyalah fatamorgana yang tidak nyata. Tapi apa daya, ini nyata, bukan fatamorgana yang cuma fiktif belaka.

Di dalam relung hati yang terdalam, kamu masih sangat berharap bahwa ini tidak nyata. Saat situasi seperti ini, kamu tidak pernah menyangka akan ada wanita lain di samping ayahmu selain ibumu. Iya, wanita lain selain ibumu. Wanita asing yang tiba-tiba hadir di antara kamu dan ayahmu. Hatimu sebagai anak, sekejap porak-poranda bagai diterjang tsunami. Wanita itu hadir bukan karena ayahmu mendua cinta, bukan juga karena jenuh akan pesona ibumu yang indah seperti rona pelangi. Wanita itu hadir ketika ibumu harus pergi ke tempat yang jauh meninggalkan ayahmu dan kamu sendiri. Perginya sangat-sangat jauh. Kamu terdiam. Kamu tertunduk. Banyak bening yang bergulir di pelupuk matamu ketika dia pergi. Kamu duduk terpaku di sudut kamar memeluk rasa kehilangan dengan bibir yang gemetar. Tatapan kosong terus seirama dengan bergulirnya bening di pelupuk mata yang membasahi pipi. Kamu tenggelam dalam kerapuhan saat ibumu pergi. Hanyut dalam gelombang arus kehampaan dan nestapa yang deras. Terombang-ambing di samudera yang penuh dengan air mata kesedihan. Mencoba menerjang gelombang arus, tetapi malah enyah di laut kehilangan.

Dan kini, kamu hanya bisa bertemu dengannya dalam pejam. Dalam pejam, kamu masih sangat berharap bahwa kamu bisa bertemu dia setiap saat seperti dulu. Bisa berbagi suka dan duka seperti dulu. Tapi, Tuhan tetap tidak sependapat denganmu. Ibumu tetap meninggalkanmu. Meninggalkan kamu sendirian di usia yang sangat haus akan belai kasih sayang sesosok “Ibu.” Kamu ingin berontak kepada Tuhan. Berontak seperti ombak laut yang menerjang batu karang. Masa krusial pun dimulai dengan kepergian ibumu. Air mata dan sesak di dada mulai akrab di kehidupanmu. Tersenyum bahkan tertawa di kala dada sesak dengan kesedihan sudah menjadi sahabat karibmu.

Di tiap hembusan napasmu, ibu selalu ada dalam memori ingatanmu. Memori dimana kamu masih bisa tersenyum dan menangis bersamanya. Setiap detik kehidupan yang kamu jalani, tidak henti-hentinya kamu mendoakannya supaya tidak merasakan nestapa seperti kamu sekarang. Berdoa agar ibumu tidak kesepian dan selalu tersenyum di sana. Kali ini, kamu berharap bahwa Tuhan sependapat dengan doamu akan ibumu.

Tapi percayalah, ibumu tidak benar-benar meninggalkanmu. Dia hanya pergi ke suatu tempat yang elok untuk melihat senyumanmu dari sana. Dia ingin melihat buah hatinya bisa mandiri dan mengukir prestasi tanpa belas kasihan dan ulur tangan orang lain. Dia sadar bahwa kamu bisa bersinar seperti mentari pagi yang menggantikan kegelapan meski sendirian tanpa hadirnya. Percayalah, ibumu selalu memerhatikanmu dan mendukungmu dari kejauhan sana. Dia selalu ada di sampingmu meski kamu tidak menyadarinya. Dia lebih dekat dari urat nadimu sendiri. Ibumu sangat menyayangimu. Teramat menyayangimu.




Untuk kamu yang ditinggal Ibunya, seperti aku.

Kamis, 13 Maret 2014

Menawarlah

Tawar-menawar adalah hal yang nggak bisa terpisahkan dari transaksi jual beli. Nggak ada tawar-menawar saat transaksi jual beli, seperti nggak naik wahana saat ke dufan. HAMBAR. Yap, buat gue, melakukan tawar-menawar saat transaksi jual beli adalah hal yang mutlak gue lakuin, kecuali belanja di supermarket. Menawar di supermarket hukumnya adalah haram, karena harga yang dibandrol nominalnya udah mutlak. Sedangkan di tempat lainnya kecuali supermarket, kesempatan untuk belanja dengan harga anjlok masih terbuka lebar.

Kata Bokap gue, “Nawarlah harga seanjlok mungkin dengan memasang tampang se-madesu mungkin.” Ya…, itulah prinsip yang dipegang teguh oleh Bokap gue tiap belanja apapun. Makanya nggak heran, tiap belanja bareng dia, muka gue jadi mirip lansia karena harus memasang tampang madesu. Bokap gue, emang pria unyu yang lihai dalam mempermainkan harga belanjaan seanjlok mungkin. Karena buah tidak jauh jatuh dari pohonnya, sikap Bokap yang lihai dalam mempermainkan harga belanjaan pun tertular kepada gue, anaknya. Tapi, gue sama Bokap itu beda prinsip dalam menawar harga.

Gue punya prinsip yang nggak mengharuskan gue memasang tampang se-madesu mungkin. Prinsip gue, “Menawarlah dengan senyuman dan buatlah permisalan.”

Nih, buat kalian yang mau menawar harga belanjaan, bisa di praktekkin. Asal, sebelum praktek baca bismillah dulu, ya. Ini Contoh dari prinsip gue itu yang bertolak belakang dengan prinsip Bokap >>
“Bang, tempat HP yang kulit ini, berapa?” Tanya gue.
“Rp. 120.000, dek.” Jawab Abang jualan.

Kalo harganya cukup bikin shock, lo harus tetep stay cool dan tersenyum meski rasa galau buat jadi beli berkecamuk di dada. Jangan memasang tampang madesu! Jangan!
“Oh, segitu ya, Bang?” (Senyum 5 jari)

Ingat, tiap ngomong apapun jangan lupa senyum.
“Iya, mau yang mana, Dek?”
“Nanti dulu. Emang nggak bisa kurang, Bang?”
“Bisa kok, jadi Rp. 115.000 deh, tuh.”
“Cuma kurang goceng, mana terasa, Bang? Rp. 80.000 aja, ya Bang?” (Senyum 7 jari)
“Maaf Dek, nggak bisa. Harganya udah segitu.”


Meskipun penjual udah ngomong begitu, lo jangan sampai pantang arah, karena sebenarnya dia ingin tau seberapa tingginya kesungguhan kita dalam membeli barang yang kita incar. Never give up! Teruslah menawar sampai hembusan napas terakhir.

Ini prinsip gue yang sangat mematikan harga, yaitu buatlah permisalan.
“Bang, kurangin dong harganya. Coba Abang bayangin, kalo punya adek yang masih sekolah, yang duit jajannya pas-pasan pengen beli sesuatu dengan duitnya sendiri tanpa minta ke orang tua, tapi ternyata pas beli duitnya kurang. Padahal dia pengen banget beli sesuatu yang dipengennya itu, tapi Cuma karena harga, dia jadi harus nggak jajan lagi buat beli yang dipengennya itu. Gimana perasaan Abang, kalo punya adek kayak gitu?”
“Ya, kasian, sih. Hmm, Rp. 85.000 deh ya, Dek?”
“Mau tetap Rp 80.000 atau berubah jadi Rp 70.000, Bang?”
“Yah, jangan dong. Yudah deh, Rp. 80.000.”

Nah, saat harga yang kita bandrol tercapai, jangan lupa bertanya tentang keikhlasannya supaya nggak ada rasa nggak enak hati dalam diri kita nanti karena menawar dengan harga anjlok.
Fix, ya? Ikhlas nggak nih, Bang?”
“Iya, iya, ikhlas.”
“Makasih, Bang. Semoga adek abang nanti cepet sukses dan abang panjang umur. Sekali lagi, makasih ya, Bang.”
“Iya, iya, amiiin.”

Mengucapkan terima kasih dan mendoakan yang baik-baik ke penjual, juga sangat penting jika kita meraih harga yang kita inginkan. Dengan prinsip gue itu, gue sukses mendapatkan belanjaan yang gue incar dengan harga miring. 
Kalaupun nantinya, lo udah praktekkin prinsip gue ini tapi harga yang lo inginkan belum tercapai, berarti lo harus banyak istighfar dan sabar. Mungkin, itu emang belum rezeki. Atau mungkin juga, senyuman lo belum lebar, makanya nggak tercapai.

Kelihaian gue dalam menawar belanjaan, membuat teman-teman gue memanfaatkan gue sebagai senjatanya saat shopping.
Mereka adalah orang-orang yang memanfaatkan kelihaian menawar gue.


Nama   :  Rizky Kania Novianti
Umur    :  Allah yang menentukan
Status   :  Terjebak di hati Kak Rahman
Hobi     : Menonton majalah
“Berteman sama Nurul itu sangat menguntungkan. Kalo gue belanja bareng dia, dia akan berjuang kekeh buat beli barang dengan harga semurah-murahnya. BELANJA? YA, AJAK NURUL! :D”

Nama   : Novi Lamria
Umur    : Menuju 1 kodi
Status   : Duta Jomblo Jabodetabek
Hobi     : Mewarnai wajah
“Gokil, nggak salah gue ngajak Nurul belanja. Sekalinya nawar, udah nggak inget harga. Harga jadi miring, semiring otaknya :p wkwk. Tapi, nggak nyesel deh, gara-gara Nurul gue bisa dapet tas dan kalung yang super duper unik. Haha THANKS RUL :D”

Nama   : Adiska Rizki Khayyumi
Umur   : Masih polos kok :3
Status  : Korban PHP Aziz Gagap
Hobi    : Menghitung harapan palsu yang datang
“Kalo belanja sama Nurul itu, nggak perlu nunggu diskon, karena Cuma ada 2 kemungkinan yang terjadi. Yang pertama, lo bakal dapet barang bagus dengan harga diskon, dan yang kedua, lo bakal dapet timpukan kalkulator dari abangnya. HAHAHA. Jadi, walaupun nggak dapet barang, minimal lo dapet kalkulator. Kan lumayan, buat dijual xD”


Oke, oke, yang perlu kalian ketahui, gue nggak pernah ditimpuk kalkulator, lho ya. Nggak pernah. Itu hanya fiktif belaka yang timbul dari angan-angan temen gue, yang korban PHP Aziz itu -__-

Intinya, menawarlah sebelum menawar itu dilarang…

Minggu, 09 Maret 2014

Never Give Up

Akhir-akhir ini, gue mulai rajin dalam menulis untuk diposting ke blog. Ini karena buku yang lagi gue garap udah 80% siap, untuk gue kirim ke publishing yang gue incar. Gue Cuma tinggal mengoreksi dan melengkapi perlengkapan naskah lainnya, seperti biodata, sinopsis, informasi tambahan tentang naskah, dll. Oleh sebab itu, gue bisa meluangkan waktu menulis untuk diposting ke blog. Sejak awal punya blog sampai gue masih fokus berkutat dengan menulis buku gue, postingan di blog gue, itu-itu mulu dan nggak bertambah. Tapi, setelah menemukan titik terang dan menunaikan hasrat gue dalam menulis buku komedi hampir selesai, gue kembali lagi di dunia blog. At least, dengan menulis untuk diposting ke blog, gue bisa melatih diri gue lebih baik lagi dalam mengukir kata.

Bicara soal buku gue yang hampir selesai, gue jadi flash back tentang perjalanan penulisan buku ini sampai sekarang. Gue memulai menulis buku, sejak gue lulus SMA. Awalnya, gue nggak yakin gue akan bisa menulis berlembar-lembar seperti sekarang, soalnya ilmu kepenulisan gue itu masih cetek. Gue masih buta banget tentang kepenulisan. Tapi, sahabat-sahabat gue, selalu men-support gue yang membuat semangat gue meningkat. Saat gue mengembangkan ide yang ada dan menulis outline, gue masih belum berpikiran untuk menerbitkan tulisan gue ini. Gue sadar, gue itu Cuma anak SMA yang baru lulus dan tulisan gue masih di bawah rata-rata. Jadinya, saat menulis buku waktu itu, gue Cuma ingin menuangkan apa yang ada di pikiran gue lewat jemari gue dalam menulis. Sampai akhirnya, gue membaca buku gue yang udah gue tulis mentah selama 2 bulan, cukup membuat gue nggak percaya kalo gue bisa menyelesaikan buku ini dalam waktu 2 bulan. Ya… gue nggak percaya aja, soalnya gue pernah baca, kalo waktu untuk menyelesaikan tulisan bagi penulis pemula adalah 4 bulan. Tapi, ternyata gue bisa menyelesaikan itu dalam waktu separuhnya.

Rasa nggak percaya dan nggak yakin kalo buku gue layak untuk dibaca, masih bergentayang di dalam benak gue.  Dalam tempo waktu 2 bulan itu, gue menyelesaikan buku ini dengan ketebalan naskah 97 lembar kertas A4, font Times New Rowman, dan Font size 12. Tulisan mentah gue yang selesai dalam 2 bulan, membuat gue makin tau diri kalo tulisan gue ini masih ecek-ecek. Oleh karena itu, sampai detik ini gue masih terus-menerus self editing demi memperbaiki tulisan gue yang ecek-ecek itu. Di saat gue self editing, gue mulai berpikiran untuk membuat buku ini nongkrong di rak toko buku. Entah setan apa yang sedang bersemayam di dalam diri gue, gue merasa yakin kalo tulisan gue layak untuk diterbitkan dan nongkrong di rak toko buku. Gue bisa yakin seperti itu, karena tulisan gue ini sengaja gue pendam dan nggak gue buka-buka selama seminggu lebih untuk gue baca dan nilai sebagai kacamata pembaca bukan sebagai penulisnya. Saat gue baca tulisan gue, gue terhibur dan ingin terus buka halaman demi halaman. Hal ini sama kayak gue baca buku-buku yang udah nongkrong di rak toko buku. Selain gue yang baca, gue juga menyuruh beberapa teman gue yang maniac novel untuk berkomentar tentang tulisan gue. Tapi, ada juga teman gue yang nggak bersedia buat baca dan berkomentar tentang tulisan gue. Mungkin, tulisan gue emang nggak ada apa-apanya, makanya mereka nggak bersedia.

Komentator maniac novel pertama >>
“Ini beneran lo yang nulis, Rul?”
“Iya, kenapa? Gue tau kok, kalo tulisan jelek banget, pasti. Tapi, thanks ya, udah mau baca..”
“Anjay, tulisan lo gokil parah! Nggak nyangka, gue punya temen macam lo.”
“Ini pujian atau hinaan, sih? -__-“
“Tulisan lo bagus. Gokil, segala ada goyang-goyang Caisarnya, hahaha. Sesuai sama trend sekarang.”
“Terima kasih :’)”

Komentator maniac novel kedua >>
“Anjirr, ngakak gue baca tulisan lo! HAHAHA”
“Ciyusss, L?” Jawab gue dengan nada cadel.
“Ciyusss. Cungguh. Cumpah.”
“Ha Ha Ha Ha.” Ketawa gue yang sangat terpaksa

Komentator maniac novel ketiga >>
“Kok, kocak sih, tulisan lo, Rul?”
“Kan, komedi…”
“Oh iya, ya -__-“
“Otak lemot lo nggak ilang-ilang -__-. Gimana, menurut lo?”
“Apaan yang menurut?”
Allahu akbar… Menurut lo, tulisan gue, gimana? Komentarin…” Gue mulai banyak nyebut, takut emosi gue terpancing gara-gara kelemotan teman gue ini.
“Oh, gitu. Gue kira apaan.”
Astaghfirloh… Komentarin woy, komentarin! -_-“ Emosi gue mulai terpancing.
“Oh iya, lupa hehe. Tulisan lo kocak Rul, tapi edit lagi aja, biar makin kocak dan bagus.”
“Okesip, terima kasih sarannya :’)”

Dan Alhamdulillah, komentar mereka sangat membangun hasrat gue untuk menerbitkan tulisan gue itu. Ini yang membuat gue punya keberanian untuk mengirimkan tulisan jelek gue itu ke publishing nanti. Tapi, di sisi lain, gue juga merasa nggak percaya diri akan tulisan gue. Tulisan gue emang dikomentarin yang bagus-bagus sama beberapa temen gue yang maniac novel, tapi itu juga membuat gue sadar. Tulisan gue mungkin bagus, tapi di luar sana masih BANYAAAK lagi yang lebih bagus dari gue. Yang ingin tulisannya nongkrong di rak toko buku, nggak Cuma gue, tapi BANYAAAK. Oleh karena itu, rasa yakin dan nggak percaya diri gue 50:50.

Meskipun gue pernah juara dalam menulis, rasa nggak percaya diri masih menyelinap di dalam benak gue. Secara, wawasan gue akan tulisan itu masih rendah banget. Maka dari itu, gue jadi sering baca buku tentang kepenulisan, supaya gue tau menulis tanda baca, ejaan, dan lainnya yang benar. Katanya, semakin kita sering menulis, gaya tulisan kita pun makin membaik.

Oh ya, sekarang naskah buku gue yang udah gue edit, berubah menjadi 105 halaman. Selama mengerjakan buku ini, banyak banget hal suka dan duka yang gue lalui. Sukanya, gue bisa menghasilkan tulisan berlembar-lembar dan membuat orang lain terhibur lewat tulisan gue. Dukanya, banyak rintangan yang harus gue lewati, komentar-komentar yang menyepelehkan tulisan gue, netbook gue rusak, abang gue yang menentang gue dalam menulis, sampai draft naskah buku gue yang udah gue tulis sempat hilang. Itu semua jadi lemon tea yang memberikan rasa asam manis dalam perjalanan gue menulis buku. Tapi, perjalanan gue masih panjang. Gue masih punya visi misi yang belum terwujud. Meskipun, banyak rintangan yang menghadang, gue selalu mencoba melewatinya dengan lapang dada dan nggak akan membuat gue berhenti untuk menulis. Gue selalu ingat kutipan yang pernah gue baca, yaitu “When you feel like giving up, remember why you started.” Kutipan itu selalu gue tanam di dalam diri gue.


Gue ingin jadi pewujud mimpi bukan sekedar pemimpi. Gue ingin bertanggung jawab untuk mewujudkan mimpi gue itu. Ya…, semoga aja ikhtiar yang udah gue lakuin berbanding lurus dengan keputusan Allah nanti. Gue harus udah siap lahir batin dengan apa yang terjadi nanti. Entah terwujud, atau nggak terwujud sama sekali harus gue terima dengan besar hati. Intinya, semoga impian gue ini nggak terkikis dengan beriringnya waktu. Dan semoga publishing incaran gue (Gagas Media Grup), memuluskan jalan gue untuk jadi pewujud mimpi. Semoga…


Sabtu, 01 Maret 2014

Komika


Dari dulu, gue udah suka sama stand up comedy. Buat gue, stand up comedy  bisa jadi recommend obat ampuh dalam menghilangkan mood yang lagi nggak sinkron. Dengan nonton stand up comedy, mood gue bisa kembali utuh dan normal seperti sedia kala. Tapi itu juga tergantung materi stand up-nya, lucu atau enggak. Kalo lucu, ya pasti gue langsung ketawa. Kalo nggak lucu, ya respon gue datar-datar aja. Itu balik lagi sama materi stand up yang bisa menghasilkan tawa atau enggak.

Comic atau sekarang yang lebih dikenal dengan sebutan komika, jadi makin banyak berkat adanya kompetisi stand up comedy Indonesia. Gara-gara kompetisi itu juga, gue makin menggandrungi stand up comedy. Kalo disuruh milih sinetron atau stand up comedy, gue pasti lebih milih stand up comedy yang bakal gue tonton. Gimana ya, menurut gue, stand up comedy itu tontonan dan hiburan joke yang paling different dibanding lainnya. Nggak semua orang bisa nge-joke, bahkan stand up. Itu susahnya minta ampun, karena yang menurut kita lucu, belum tentu menurut orang lain lucu juga. Makanya, gue cukup angkat jempol terhadap komika yang bisa membuat orang lain tertawa. Selain sebagai profesi mereka itu yang bisa menghasilkan uang, mereka juga bisa mengumpulkan tiket ke surga gara-gara membuat orang lain senang.

Karena gue penyuka stand up comedy, gue, pastinya punya komika favorit. Komika favorit gue ada Ge, Babe, dan Mudy.

Gue suka Ge karena pembawaan gesture dia saat stand up itu asik banget, apalagi di mix dengan beatbox, wah itu bikin materi stand up dia jadi makin asik.

Kalo Babe, dia jago banget bikin materi berdasarkan hal-hal yang lagi trend di kalangan masyarakat dan membuat audience jadi tertawa berkat materi stand up-nya yang peka terhadap trend itu.

Mudy juga jago bikin materi stand up. Lewat genjrengan gitar dan suaranya yang syahdu dengan syair serta arransement lagu yang dibikin absurd, sukses membuat gue untuk tertawa.

Dan komika terfavorit gue, yaitu FICO. Fico, buat gue merupakan komika yang super-super unik. Penempatan diksi di tiap materi stand up-nya, selalu sukses menghipnotis gue untuk tertawa lepas. Materi yang dia pake, cukup simple tapi hasilnya pecah abissssss. Gue aja, nggak pernah terlintas tentang materi itu saking sederhananya. Dia jago bikin sesuatu yang sederhana jadi WOW. Fico emang punya sensibilitas komedi yang tinggi, makanya nggak heran tiap dia open mic, pasti selalu banyak tawa yang dia ciptakan dari materi sederhananya yang pecah itu.


Selain itu, mimik dan gimik dia tiap open mic juga selalu sukses menggelitik gue buat tertawa. Ekspresi dia yang datar cukup ampuh menciptakan tawa. Nggak Cuma mimik, gimik, dan materi dia yang bikin gue terpesona. Ciri khas dia yang selalu mengucapkan “Assalamualaikum” dengan nada lucu di awal open mic-nya, juga nggak kalah menggelitik. Kalo dari look, Fico emang nggak begitu ganteng. Toh, lagian itu menurut gue juga nggak terlalu penting. Yang dinilai dari seorang komika, kan bukan cuma look, melainkan materi stand up-nya yang utama. Tapi, menurut gue sebagai penikmat stand up comedy, dia punya kharismatik yang nggak orang lain punya selain dia. Yang jelas, gue suka materi-materi stand up comedy dia selama ini. Simple to be awesomeABSURD ABISSSSSSS, HAHAHAHA. Semoga komika terfavorit gue ini, tetep membuat orang lain tertawa lepas dengan bahan materinya yang different itu. Let’s make laugh! ^^

Jumat, 28 Februari 2014

#PrayForAle



Ale. Ale itu merupakan nama netbook gue. Berdasarkan sumber yang gue baca, Ale berasal dari istilah French “Cereale” yang artinya adalah buah. Gue memberi nama tersebut karena unik dan gue punya filosofi berdasarkan sudut pandang gue sendiri. Gue memilih buah, karena rasa-rasa buah itu bermacam-macam, ada buah yang manis, asem, dll. Itu gue anggap, sama kayak netbook gue yang bisa menimbulkan bermacam-macam rasa di diri gue. Entah kesel, seneng, dll. Kesel kalo loading-nya lagi lemot. Seneng kalo lagi nonton film dan game yang ada di dalam netbook gue itu. Selain itu, kenapa gue mengambil istilah buah dari bahasa French, itu karena gue suka sama Negara eifel itu. Sama kayak gue yang suka dengan netbook gue ini. Oleh karena itu, gue mengibaratkan netbook gue ini cereale, yang biasa gue panggil dengan sebutan “Ale.”

Pray, pray, and pray.
Pray menjadi hal yang makin rutin gue lakukan, semenjak Ale mengalami malapetaka, yaitu terkena syndrome sel netbook (Baca: Engsel rusak). Malapetaka itu terjadi 2 minggu yang lalu. Waktu itu, gue lagi online di Ale, buat balesin ask.fm, mention, DM, coment, dll yang menyangkut akun social media gue. Gue emang jarang banget online di Ale. Itu karena posisinya harus selalu duduk yang nggak bisa tiduran. Dan itu PEGEL -_- Makanya, gue lebih suka online di ipad atau di HP, karena posisinya bisa sambil tiduran. Kalaupun gue harus online di Ale, itu Cuma saat-saat tertentu dan penting aja. Ale lebih sering gue pake buat nemenin gue menulis dan ngerjain project. Saat malapetaka itu hampir terjadi, Ale masih dalam keadaan sehat walafiat dan nggak menunjukkan tanda-tanda kalo dia bakal terkena syndrome. Setelah, respon-respon di akun social media gue bales, gue memutuskan untuk mengistirahatkan si Ale yang udah panas. Tapi, di saat gue mulai menutup layarnya Ale, tiba-tiba terdengar suara “PELETEEEEEK.”

Gue cengo.
Gue shock.

Dan seketika itu pula, malapetaka terjadi terhadap si Ale. Gue yang udah setengah nggak sadar karena ngantuk, langsung sadar ketika suara “PELETEEEEEK” itu berkumandang. Semua perasaan langsung berkecamuk di dalam benak gue. Kesel, sedih, bingung, kocak, semua melebur jadi satu. Gue kesel karena lagi-lagi ada aja yang harus gue alami. Gue sedih, karena kasian liat kondisi Ale yang layar bawahnya mangap seperti ikan lohan. Gue bingung, harus ngapain ngeliat keadaan Ale yang mengenaskan itu. Gue juga kocak, karena di saat kondisi genting seperti itu, masih ada aja hal kocak yang terselip wkkwk -.-

Mungkin, kalo si Ale bisa berbicara, dia bakal mengelus pundak gue sambil bilang, “Tenang Bos, nggak usah sedih. Aku kuat kok :’)”
Dramatis.

Otak gue jadi trapesium gara-gara kondisi Ale yang memprihatinkan itu, pola pikir gue jadi nggak sinkron. Tapi karena rasa ngantuk gue jauh lebih kuat dibanding otak gue yang mau berpikir gimana caranya menyelamatkan Ale dari jeratan syndrome sel netbook ini, gue memutuskan untuk tidur.

Lagi-lagi saat bangun tidur, otak gue dipaksa harus berpikir gimana caranya membebaskan Ale dari syndrome itu. “Hmmm, gimana ya?” “Gimana ya, hmmm” “Ya, hmmm gimana?” Itu-itu aja terus yang ada di benak gue saat itu. Maklum, waktu itu gue baru bangun tidur, makanya nyawa gue belum terkumpul secara utuh yang mengakibatkan otak dan pola pikir gue jadi ludicrous. Sampai akhirnya, terdengar suara merdu (Baca: Adzan) dari musholla belakang rumah gue. Berhubung gue itu adalah anak yang beriman, gue nggak melupakan kewajiban gue sebagai muslimah. Gue langsung bangun dari terkaman kasur menuju kamar mandi buat wudhu. Oke, gue sholat.

Selesai sholat, otak gue udah mulai terbentuk dan nggak trapesium lagi. Pola pikir gue juga mulai masuk akal dan nggak kacau lagi. Tapi, di saat itu pula gue makin bergumam. “Duh, duit gue tinggal dikit, gimana mau service?” “ATM gue hampir limit, gimana mau service?” “Gue kalo minjem duit ke abang gue, pasti diketawain. Jadi gimana mau service?” “Kalo minta tambahin sama Bokap, pasti kuping gue denger nyanyian (Di omelin) beberapa jam nonstop, terus gimana mau service?”

Nggak lain dan nggak bukan, kata-kata “Gimana mau service?” selalu menyelinap dalam benak gue. Karena gue udah lelah dengan benak gue yang kacau, gue berkonsultasi dengan teman gue. At least, dia bisa jadi penunjuk arah hidup gue dalam menyelamatkan Ale dari syndrome sel netbook. Dan akhirnya, dia menyarankan gue ke service center resmi maupun non resmi. Gue langsung menunaikan saran itu ke esokan harinya. Sebelum menunaikan saran itu, gue memberanikan diri untuk minjem duit ke abang gue yang lagi telfonan sama pacarnya di kamar.

“Bang, gue minjem duit dong. Nanti gue ganti kok, pas awal bulan.”
“Buat apaan?”
“Si Ale terkena syndrome. Gue mau ngajak dia berobat.”
Entah kenapa, kalimat yang gue gunakan barusan membuat gue jadi absurd -_-

“Hah? Ale? Siapa itu? Pacar, lo? GUE BILANGIN ABA LO, YA!” Not bicara abang gue mandadak tinggi seperti Miley cyrus.
“Apaan sih, lo. Ale itu netbook gue! Nih, tuh liat! Engselnya udah kepotek. Suka negative thinking mulu sih, lo. Apa-apa  bilangin aba mulu. Comel banget mulutnya kayak ibu-ibu gossip!” Gue nyerocos.
“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA.” Ketawa dia yang menggelegar


Melihat perlakuan abang gue yang biadab itu, gue makin beristighfar dan tarik napas. Kan gawat, kalo emosi gue terpancing. Bisa-bisa, gue nggak dipinjemin duit, bahkan abang gue bisa membahayakan gue dengan memfitnah yang macam-macam ke Bokap.

Dengan sifat kesabaran yang gue miliki, akhirnya gue dipinjemin duit oleh abang gue dengan rintangan yang mengharuskan gue jadi bahan tertawaan dia.

Selain itu, gue memberanikan diri juga buat minta tambahan duit ke Bokap. Emang sih, gue terkesan kaku. Masa sama orang tua sendiri aja, masih takut buat minta. Tapi, ya inilah gue. Gue sungkan minta apa-apa. Selagi gue bisa beli dengan duit gue sendiri, gue nggak bakal minta. Kalaupun minta, pasti mintanya nggak utuh dan ragu-ragu, kayak sekarang ini. Gue Cuma minta nambahin duit gue yang kurang, buat service si Ale. Dan untungnya, gue kena omelan Cuma beberapa menit.

Dengan duit pinjaman abang gue dan duit tambahan dari Bokap, gue langsung bergegas ke service center di salah satu mall daerah bekasi bareng temen gue.

Sebelum ke service center resmi, kita berpetualang mencari tau harga service di beberapa service center non resmi. Harga yang ditawarkan pun bermacam-macam, ada yang 300rb, 450rb, dan 150rb. Temen gue langsung memberi pencerahan terhadap gue akan harga-harga yang ditawarkan dari beberapa service center non resmi itu.

“Rul, yang tadi itu kok murah banget, ya?” Bisik temen gue.
“Iya, ya?”
“Masa dia 150rb, di sini 450rb. Jangan-jangan nanti pas service, netbook lo di otak-atik dan diganti dalemnya rul. Gue rasa kita mending langsung yang pasti dan aman aja, deh. Kita ke service center resmi aja.”
“(Ngangguk-nganggukin kepala)”


Gue dan temen gue pun langsung menuju service center resmi. Dan ternyata, stok barang buat gantiin engsel Ale yang rusak itu udah abis dan nggak di produksi lagi. Saat itu, gue mau nangis, mau teriak, pokokya sedih bingitssss. Tapi, gue harus tetep terlihat tenang. Saat itu juga gue menyebut, “ALL IZ WELL” berkali-kali. Gue mulai putus asa dan hilang arah buat bikin si Ale sehat walafiat lagi. Tapi temen gue berusaha menghibur gue dan mengajak gue ke service center yang lain. Gue pun mengiyakan.

“Om, netbook temen saya engselnya rusak nih. Nah, kalo di service berapa deh, om?” Kata temen gue.
Om-om service center-nya langsung menggerayangi si Ale.

“Oh, kalo ini mah harus diganti casing juga. Kalo harga, biasanya 1jt dek.”
“HAH? Tapi ini sehat walafiat kok om sebenernya. Di idupin masih normal tampilannya, ini Cuma engselnya yang bikin susah buka dan nutup layarnya om. Om jangan bercanda dong, om. Om serius dikit dong.” Gue nyerocos.
“Iya, ini serius. Nggak bercanda.”
“Yaaaaahhhhhh om.” Suara gue mulai melemas dan nggak bertenaga.
“Kalo gitu dek, mending beli yang baru.”
“Yaudah deh, liat takdir nanti. Kasih tips aja deh, dong om gimana nutup dan buka layar ini dengan aman.”
Om-om service langsung nunjukkin cara membuka dan menutup layar netbook yang engselnya rusak. Dan gue langsung mempratekkannya.

“Yaudah om, makasih banyak ya om atas tipsnya. Makasih, makasih, makasih. Doain ya om, supaya netbook saya cepet sembuh.”
Gara-gara Ale rusak, gue jadi terlihat bego -_-

“Iya dek, sama-sama. Hati-hati aja makenya.”

Keluar dari service center itu, gue sebagai pemilik syah Ale, Cuma bisa mellow dan ikut prihatin karena syndrome yang sedang menimpanya sekarang. Bahkan, hati gue bagai ketusuk ribuan peniti tiap liat keadaan Ale yang mengenaskan dan denger biaya service-nya. Mau nangis, sih sebenernya. Tapi, gue harus tetep stay cool.

Gue bingung, harus gimana. Kalo biaya service-nya sejuta, mending gue beli baru, terus si Ale gue alih fungsikan jadi PC dengan nggak nutup-nutup layarnya lagi. Tapi di sisi lain, Ale itu kan udah kayak sohib gue. Gue sama dia udah bareng-bareng sejak gue kelas 2 SMA. Susah seneng, gue bareng dia. Dia yang ngehibur gue kalo lagi bete dengan film-film yang ada di dia. Dia juga yang bikin tugas-tugas sekolah gue terasa mudah. Dia juga loh, yang bikin gue nambah wawasan. Dan yang paling penting, dia itu jadi saksi bisu dalam perjalanan karir sastra gue, terutama menulis. Nggak ada dia, gue nggak akan bisa kayak sekarang. Mana semua project dan naskah gue ada dia semua, gue susah move on dari si Ale. Pokoknya, Ale selalu setia nemenin gue dalam kondisi suka maupun duka. Nggak ada Ale, mungkin nggak bakal ada juga project dan naskah gue kayak sekarang. Bingung, harus gimana.

Oke, fix. Dengan berat hati, gue memutuskan untuk nggak menservice Ale dalam jangka waktu tertentu dan mengalih fungsikan dia sebagai PC yang layarnya nggak akan gue tutup-tutup. Maybe someday, kalo ada rejeki, gue bakal menservice dia dan menyimpannya baik-baik sebagai saksi bisu perjuangan gue dari nol. #PrayForAle


Mungkin, bisa jadi rusaknya Ale ini adalah salah satu rintangan yang harus gue lewati lagi buat wujutin angan-angan sebagai penulis, karena kegiatan menulis gue jadi rada terhambat. Nggak munafik, dengan kondisi Ale yang terkena syndrome sel netbook, secara nggak langsung membuat konsistensi menulis gue mengalami pasang surut. Tapi yang jelas, gue nggak akan berhenti buat nulis. Kalaupun nantinya emang skenario Allah membuat gue jauh dari angan-angan itu, gue pasti terima. Karena serapih-rapihnya gue ngatur skenario hidup gue, skenario Allah jauh lebih rapih. Tapi, selama gue enjoy dan nggak ngusik hidup orang, gue akan terus menulis apa yang ingin gue tulis. Nongol di rak toko buku atau enggak, itu biar skenario Allah yang ngatur. Gue Cuma bisa ikhtiar dan berdoa. Gue percaya, yang namanya ikhtiar nggak ada yang sia-sia, meskipun nantinya gagal. Karena sampai detik ini, gue masih belum lelah untuk menggenggam impian dan percaya pada harapan.
I have a dream and I believe it.