Ale. Ale itu
merupakan nama netbook gue. Berdasarkan sumber yang gue baca, Ale
berasal dari istilah French “Cereale”
yang artinya adalah buah. Gue memberi nama tersebut karena unik dan gue punya
filosofi berdasarkan sudut pandang gue sendiri. Gue memilih buah, karena
rasa-rasa buah itu bermacam-macam, ada buah yang manis, asem, dll. Itu gue
anggap, sama kayak netbook gue yang
bisa menimbulkan bermacam-macam rasa di diri gue. Entah kesel, seneng, dll.
Kesel kalo loading-nya lagi lemot.
Seneng kalo lagi nonton film dan game
yang ada di dalam netbook gue itu.
Selain itu, kenapa gue mengambil istilah buah dari bahasa French, itu karena gue suka sama Negara eifel itu. Sama kayak gue
yang suka dengan netbook gue ini. Oleh
karena itu, gue mengibaratkan netbook
gue ini cereale, yang biasa gue
panggil dengan sebutan “Ale.”
Pray, pray,
and pray.
Pray menjadi hal yang makin rutin gue
lakukan, semenjak Ale mengalami malapetaka, yaitu terkena syndrome sel netbook (Baca: Engsel rusak). Malapetaka itu terjadi 2
minggu yang lalu. Waktu itu, gue lagi online di Ale, buat balesin ask.fm,
mention, DM, coment, dll yang menyangkut akun social media gue. Gue emang jarang banget online di Ale. Itu karena posisinya harus selalu duduk yang nggak bisa
tiduran. Dan itu PEGEL -_- Makanya, gue lebih suka online di ipad atau di HP,
karena posisinya bisa sambil tiduran. Kalaupun gue harus online di Ale, itu Cuma saat-saat tertentu dan penting aja. Ale
lebih sering gue pake buat nemenin gue menulis dan ngerjain project. Saat malapetaka itu hampir
terjadi, Ale masih dalam keadaan sehat walafiat
dan nggak menunjukkan tanda-tanda kalo dia bakal terkena syndrome. Setelah, respon-respon di akun social media gue bales, gue memutuskan untuk mengistirahatkan si
Ale yang udah panas. Tapi, di saat gue mulai menutup layarnya Ale, tiba-tiba
terdengar suara “PELETEEEEEK.”
Gue cengo.
Gue shock.
Dan seketika itu
pula, malapetaka terjadi terhadap si Ale. Gue yang udah setengah nggak sadar
karena ngantuk, langsung sadar ketika suara “PELETEEEEEK” itu berkumandang.
Semua perasaan langsung berkecamuk di dalam benak gue. Kesel, sedih, bingung,
kocak, semua melebur jadi satu. Gue kesel karena lagi-lagi ada aja yang harus
gue alami. Gue sedih, karena kasian liat kondisi Ale yang layar bawahnya mangap
seperti ikan lohan. Gue bingung, harus ngapain ngeliat keadaan Ale yang
mengenaskan itu. Gue juga kocak, karena di saat kondisi genting seperti itu,
masih ada aja hal kocak yang terselip wkkwk -.-
Mungkin,
kalo si Ale bisa berbicara, dia bakal mengelus pundak gue sambil bilang,
“Tenang Bos, nggak usah sedih. Aku kuat kok :’)”
Dramatis.
Otak gue jadi
trapesium gara-gara kondisi Ale yang memprihatinkan itu, pola pikir gue jadi
nggak sinkron. Tapi karena rasa ngantuk gue jauh lebih kuat dibanding otak gue
yang mau berpikir gimana caranya menyelamatkan Ale dari jeratan syndrome sel netbook ini, gue memutuskan
untuk tidur.
Lagi-lagi saat
bangun tidur, otak gue dipaksa harus berpikir gimana caranya membebaskan Ale
dari syndrome itu. “Hmmm, gimana ya?”
“Gimana ya, hmmm” “Ya, hmmm gimana?” Itu-itu aja terus yang ada di benak gue
saat itu. Maklum, waktu itu gue baru bangun tidur, makanya nyawa gue belum
terkumpul secara utuh yang mengakibatkan otak dan pola pikir gue jadi ludicrous. Sampai akhirnya, terdengar
suara merdu (Baca: Adzan) dari musholla belakang rumah gue. Berhubung gue itu
adalah anak yang beriman, gue nggak melupakan kewajiban gue sebagai muslimah.
Gue langsung bangun dari terkaman kasur menuju kamar mandi buat wudhu. Oke, gue
sholat.
Selesai sholat,
otak gue udah mulai terbentuk dan nggak trapesium lagi. Pola pikir gue juga
mulai masuk akal dan nggak kacau lagi. Tapi, di saat itu pula gue makin
bergumam. “Duh, duit gue tinggal dikit, gimana mau service?” “ATM gue hampir limit,
gimana mau service?” “Gue kalo minjem
duit ke abang gue, pasti diketawain. Jadi gimana mau service?” “Kalo minta tambahin sama Bokap, pasti kuping gue denger nyanyian
(Di omelin) beberapa jam nonstop, terus
gimana mau service?”
Nggak lain dan
nggak bukan, kata-kata “Gimana mau service?”
selalu menyelinap dalam benak gue. Karena gue udah lelah dengan benak gue yang
kacau, gue berkonsultasi dengan teman gue. At
least, dia bisa jadi penunjuk arah hidup gue dalam menyelamatkan Ale dari syndrome sel netbook. Dan akhirnya, dia
menyarankan gue ke service center
resmi maupun non resmi. Gue langsung
menunaikan saran itu ke esokan harinya. Sebelum menunaikan saran itu, gue
memberanikan diri untuk minjem duit ke abang gue yang lagi telfonan sama
pacarnya di kamar.
“Bang, gue
minjem duit dong. Nanti gue ganti kok, pas awal bulan.”
“Buat apaan?”
“Si Ale terkena syndrome. Gue mau ngajak dia berobat.”
Entah kenapa,
kalimat yang gue gunakan barusan membuat gue jadi absurd -_-
“Hah? Ale? Siapa
itu? Pacar, lo? GUE BILANGIN ABA LO, YA!” Not bicara abang gue mandadak tinggi
seperti Miley cyrus.
“Apaan sih, lo.
Ale itu netbook gue! Nih, tuh liat!
Engselnya udah kepotek. Suka negative
thinking mulu sih, lo. Apa-apa
bilangin aba mulu. Comel banget mulutnya kayak ibu-ibu gossip!” Gue
nyerocos.
“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA.”
Ketawa dia yang menggelegar
Melihat
perlakuan abang gue yang biadab itu, gue makin beristighfar dan tarik napas.
Kan gawat, kalo emosi gue terpancing. Bisa-bisa, gue nggak dipinjemin duit,
bahkan abang gue bisa membahayakan gue dengan memfitnah yang macam-macam ke
Bokap.
Dengan sifat
kesabaran yang gue miliki, akhirnya gue dipinjemin duit oleh abang gue dengan
rintangan yang mengharuskan gue jadi bahan tertawaan dia.
Selain itu, gue
memberanikan diri juga buat minta tambahan duit ke Bokap. Emang sih, gue
terkesan kaku. Masa sama orang tua sendiri aja, masih takut buat minta. Tapi,
ya inilah gue. Gue sungkan minta apa-apa. Selagi gue bisa beli dengan duit gue
sendiri, gue nggak bakal minta. Kalaupun minta, pasti mintanya nggak utuh dan
ragu-ragu, kayak sekarang ini. Gue Cuma minta nambahin duit gue yang kurang,
buat service si Ale. Dan untungnya,
gue kena omelan Cuma beberapa menit.
Dengan duit
pinjaman abang gue dan duit tambahan dari Bokap, gue langsung bergegas ke service center di salah satu mall daerah bekasi bareng temen gue.
Sebelum ke service center resmi, kita berpetualang
mencari tau harga service di beberapa
service center non resmi. Harga yang
ditawarkan pun bermacam-macam, ada yang 300rb, 450rb, dan 150rb. Temen gue
langsung memberi pencerahan terhadap gue akan harga-harga yang ditawarkan dari
beberapa service center non resmi
itu.
“Rul, yang tadi
itu kok murah banget, ya?” Bisik temen gue.
“Iya, ya?”
“Masa dia 150rb,
di sini 450rb. Jangan-jangan nanti pas service,
netbook lo di otak-atik dan diganti
dalemnya rul. Gue rasa kita mending langsung yang pasti dan aman aja, deh. Kita
ke service center resmi aja.”
“(Ngangguk-nganggukin
kepala)”
Gue dan temen
gue pun langsung menuju service center
resmi. Dan ternyata, stok barang buat gantiin engsel Ale yang rusak itu udah
abis dan nggak di produksi lagi. Saat itu, gue mau nangis, mau teriak, pokokya
sedih bingitssss. Tapi, gue harus tetep terlihat tenang. Saat itu juga gue menyebut, “ALL IZ WELL” berkali-kali. Gue mulai
putus asa dan hilang arah buat bikin si Ale sehat walafiat lagi. Tapi temen gue berusaha menghibur gue dan mengajak
gue ke service center yang lain. Gue
pun mengiyakan.
“Om, netbook temen saya engselnya rusak nih.
Nah, kalo di service berapa deh, om?”
Kata temen gue.
Om-om service center-nya langsung
menggerayangi si Ale.
“Oh, kalo ini
mah harus diganti casing juga. Kalo
harga, biasanya 1jt dek.”
“HAH? Tapi ini
sehat walafiat kok om sebenernya. Di
idupin masih normal tampilannya, ini Cuma engselnya yang bikin susah buka dan
nutup layarnya om. Om jangan bercanda dong, om. Om serius dikit dong.” Gue
nyerocos.
“Iya, ini
serius. Nggak bercanda.”
“Yaaaaahhhhhh
om.” Suara gue mulai melemas dan nggak bertenaga.
“Kalo gitu dek,
mending beli yang baru.”
“Yaudah deh,
liat takdir nanti. Kasih tips aja deh, dong om gimana nutup dan buka layar ini
dengan aman.”
Om-om service langsung nunjukkin cara membuka
dan menutup layar netbook yang
engselnya rusak. Dan gue langsung mempratekkannya.
“Yaudah om,
makasih banyak ya om atas tipsnya. Makasih, makasih, makasih. Doain ya om,
supaya netbook saya cepet sembuh.”
Gara-gara Ale
rusak, gue jadi terlihat bego -_-
“Iya dek,
sama-sama. Hati-hati aja makenya.”
Keluar dari service center itu, gue sebagai pemilik
syah Ale, Cuma bisa mellow dan ikut
prihatin karena syndrome yang sedang
menimpanya sekarang. Bahkan, hati gue bagai ketusuk ribuan peniti tiap liat
keadaan Ale yang mengenaskan dan denger biaya service-nya. Mau nangis, sih sebenernya. Tapi, gue harus tetep stay cool.
Gue bingung, harus
gimana. Kalo biaya service-nya sejuta,
mending gue beli baru, terus si Ale gue alih fungsikan jadi PC dengan nggak
nutup-nutup layarnya lagi. Tapi di sisi lain, Ale itu kan udah kayak sohib gue.
Gue sama dia udah bareng-bareng sejak gue kelas 2 SMA. Susah seneng, gue bareng
dia. Dia yang ngehibur gue kalo lagi bete dengan film-film yang ada di dia. Dia
juga yang bikin tugas-tugas sekolah gue terasa mudah. Dia juga loh, yang bikin
gue nambah wawasan. Dan yang paling penting, dia itu jadi saksi bisu dalam perjalanan
karir sastra gue, terutama menulis. Nggak ada dia, gue nggak akan bisa kayak
sekarang. Mana semua project dan
naskah gue ada dia semua, gue susah move
on dari si Ale. Pokoknya, Ale selalu setia nemenin gue dalam kondisi suka
maupun duka. Nggak ada Ale, mungkin nggak bakal ada juga project dan naskah gue kayak sekarang. Bingung, harus gimana.
Oke, fix. Dengan berat hati, gue memutuskan
untuk nggak menservice Ale dalam jangka
waktu tertentu dan mengalih fungsikan dia sebagai PC yang layarnya nggak akan
gue tutup-tutup. Maybe someday, kalo
ada rejeki, gue bakal menservice dia
dan menyimpannya baik-baik sebagai saksi bisu perjuangan gue dari nol. #PrayForAle
Mungkin, bisa
jadi rusaknya Ale ini adalah salah satu rintangan yang harus gue lewati lagi buat
wujutin angan-angan sebagai penulis, karena kegiatan menulis gue jadi rada
terhambat. Nggak munafik, dengan kondisi Ale yang terkena syndrome sel netbook, secara nggak langsung membuat konsistensi
menulis gue mengalami pasang surut. Tapi yang jelas, gue nggak akan berhenti
buat nulis. Kalaupun nantinya emang skenario Allah membuat gue jauh dari
angan-angan itu, gue pasti terima. Karena serapih-rapihnya gue ngatur skenario
hidup gue, skenario Allah jauh lebih rapih. Tapi, selama gue enjoy dan nggak ngusik hidup orang, gue
akan terus menulis apa yang ingin gue tulis. Nongol di rak toko buku atau
enggak, itu biar skenario Allah yang ngatur. Gue Cuma bisa ikhtiar dan berdoa.
Gue percaya, yang namanya ikhtiar nggak ada yang sia-sia, meskipun nantinya
gagal. Karena sampai detik ini, gue masih belum lelah untuk menggenggam impian dan
percaya pada harapan.
I have a dream and
I believe it.