Apalagi yang diharapkan dari anak tak beribu dan tak berbapak?
Duduk di sudut kamar tertegu dengan banyak bening yang bergulir di pelupuk mata. Tak ada kosakata terdengar karena saking kuatnya getaran di dada yang begitu sesak. Memori demi memori datang silih berganti di kepala akan sosok penopang hidup seorang anak. Harapan akan adanya penopang hidup lagi terus berkecamuk di hati. Tapi apa daya, Ekspektasi tidak selaras dengan implementasi. Si anak tetap duduk sendiri di sudut kamar hingga bibirnya bergetar bagai diterjang tsunami kesendirian. Meradang dalam hati. Berteriak dalam kesepian. Mengaung dalam kehampaan. Memelas dalam kesedihan. Tanda tanya pun selalu ada di benak sang anak, "Kenapa ayah dan ibu tidak bersamaku untuk waktu yang lama?"
Lalu, jika sudah begini, apalagi yang diharapkan dari anak tak beribu dan tak berbapak? Melakukan ini-itu tanpa petunjuk. Ingin ini-itu harus berusaha sendiri tanpa dibantu. Tak seperti anak lainnya, si anak itu harus bisa berdiri lebih tegak lagi sendirian untuk hal ini-itu. Dengan begitu, apalagi yang diharapkan dari anak tak beribu dan tak berbapak? Tapi si anak tetap semangat untuk menata kehidupan yang lebih baik, karena kata sang penopang hidup, "Tetaplah bersinar menyinari yang lainnya meski sendirian." Demikian, isi cerita anak tak beribu dan tak berbapak yang bukan sekedar mengharapkan....
Dari aku, si anak yang tak beribu dan tak berbapak.